Kamis, 16 Agustus 2007

Jantung Koroner Penyebab Kematian Nomor Satu di Dunia

YOGYAKARTA - Tahun 2020 diperkirakan penyakit jantung koroner merupakan penyakit penyebab kematian dan kecacatan nomor satu di dunia. Bahkan penyakit kardiovaskuler ini akan mengakibatkan kematian 25 juta penderita setiap tahunnya.

Hal ini dikemukakan oleh Prof dr Bambang Irawan Martohusodo, SpPD-KKV, SpJP (K), FIHA dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar di Bali Senat UGM, Senin (13/8/2007). Bambang Irawan mengatakan tahun 1990-an memang penyakit infeksi dan malnutrisi adalah penyebab kematian utama di dunia.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pola hidup secara bertahap penyakit jantung koroner mulai meningkat, dan diramalkan pada tahun 2020 merupakan penyebab kematian paling tidak satu dari tiap tiga kematian.

“Diramalkan pada tahun 2020 mendatang penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian dan kecacatan nomor satu di dunia,” kata Bambang.

Lebih lanjut Bambang mengatakan berbagai faktor yang dinilai masih menjadi penyebab terjadinya jantung koroner ini antara lain kebiasaan merokok, penyakit diabetes yang tidak terkontrol, hipertensi, kenaikan kolesterol dan trigliserid dalam darah, kurang olah raga, stress psikis, dan kegemukan. Namun demikian faktor ini masih bisa diubah dan dikontrol untuk menurunkan risiko terbentuknya plak di pembuluh darah koroner.

“Mau tidak mau pada dasarnya jantung koroner hanya bisa dicegah dengan mengontrol faktor risiko yang masih bisa diubah itu,” katanya.

Bambang Irawan menegaskan upaya pencegahan jantung koroner ini tidak hanya diperlukan tenaga media saja, kerja sama dengan penderita, niat yang kuat dari penderita, kesadaran keluarga dan lingkungan sangat penting untuk keberhasilannya. Penyuluhan pada masyarakat lewat media apa saja juga sangat penting untuk menyadarkan masyarakat betapa bahayanya penyakit jantung koroner dan pentingnya usaha pencegahan secara awal agar tidak terkena serangan jantung di kemudian hari.

“Dicantumkannya peringatan mengenai bahaya merokok merupakan salah satu usaha pemerintah ikut berpartisipasi di dalam pencegahan penyakit jantung koroner tersebut,” tutur Bambang.

Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872

Jauhkan Depresi pada Ibu Hamil

JAKARTA – Mengapa amat penting menjaga agar ibu yang sedang mengandung jangan sampai mengalami depresi? Tidak lain karena adanya perubahan hormon pada ibu hamil secara keseluruhan sehingga sering merasa kesal, jenuh atau sedih.

Selain itu, keadaan fisik yang berubah saat hamil sering kali menimbulkan depresi bagi para ibu. Menjelang usia kehamilan tertentu, ibu mengalami kesulitan tidur. Ini tentu menyebabkan si ibu keesokan harinya akan merasa amat letih, ada lingkaran hitam di mata, dan kulit muka menjadi kusam.

Tiffani Field PhD dari Universitas of Miami Medical School mengungkapkan, adanya pengaruh antara ibu yang depresi dan anak yang dilahirkannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama 20 tahun, dia menemukan bahwa ibu yang mengalami depresi berat akibat perubahan mood atau perubahan fisik selama kehamilan, akan melahirkan anak yang memiliki kadar hormon stres tinggi. Selain itu, aktivitas otak yang peka terhadap depresi dan perubahan suasana hati, menunjukkan sedikit ekspresi dan mengalami gejala depresi lain, seperti sulit makan dan tidur.

Berbahaya lagi, bila gejala-gejala depresi pada bayi baru lahir tidak segera ditangani, anak berkembang menjadi anak yang tidak bahagia. Mereka sulit belajar berjalan, berat badan kurang, dan tidak responsif terhadap orang lain. Bila keadaan ini tetap tidak ditanggulangi, anak akan tumbuh menjadi balita yang depresi. Saat mulai sekolah, mereka mengalami masalah tingkah laku, seperti agresif dan mudah stres.
Tiffani juga menyebutkan bahwa penyebab depresi pada ibu hamil bisa dipicu oleh adanya masalah-masalah pada kandungan seperti kandungan lemah, sering muntah pada awal kandungan, dan masalah-masalah lain yang bisa menyebabkan depresi. Ibu akan terus-menerus mengkhawatirkan keadaan anak dan ini akan membuat dia merasa tertekan.

Depresi dapat pula dialami setelah sang ibu melahirkan bayinya. Di Amerika Serikat, sekitar 30% dari ibu yang baru melahirkan diduga mengalami depresi pascamelahirkan.

Ibu dan anak yang mengalami depresi harus mendapatkan pertolongan para profesional. Diperlukan konsultasi dengan dokter anak dan psikolog anak. Makin cepat pertolongan diberikan, makin besar kemungkinan anak akan tumbuh normal. Terapi lainnya, seperti pijat, juga terbukti baik untuk mengatasi depresi, baik bagi anak maupun ibu. Tapi, ini pun harus dengan pengawasan dari dokter.

Yang penting, Tiffani menyarankan, upaya penyembuhan ini harus dilakukan pada ibu dan bayi. Jangan hanya bayi yang diterapi, sementara ibu dibiarkan makin terpuruk dalam depresi atau sebaliknya. Ibu dan bayi harus bekerja sama untuk mengatasi depresinya. Ayah pun harus berperan aktif dalam membantu penyembuhan orang-orang terdekat ini.

Di sini, peran suami terhadap ibu yang sedang mengandung dan setelah melahirkan amat besar. Ibu hamil harus mendapatkan dukungan yang sebesar-besarnya dari suami. Dukungan suami ini bisa ditunjukkan dengan berbagai cara, seperti memberi ketenangan kepada istri, membantu sebagian pekerjaan istri atau sekadar memberi pijatan ringan bila istri merasa pegal.

Diharapkan, dengan dukungan total dari suami, istri dapat melewati masa kehamilannya dengan perasaan senang dan jauh dari depresi yang dapat berakibat sama terhadap anak yang di kandungnya.

Pada saat bayi yang ditunggu sudah lahir, peran suami yang sekarang menjadi seorang ayah tentu diharapkan menjadi semakin aktif. Ayah dan ibu harus berbagi tugas dalam mengasuh dan merawat si kecil. Jangan sampai semua perawatan bayi diserahkan ke ibu. Ini bisa membuat ibu depresi karena fisiknya belum pulih setelah melahirkan, ditambah kelelahan baru dalam merawat si buah hati.

Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872