Kamis, 09 Agustus 2007

Anti Oksidan Makin Populer

Anti Oksidan Makin Populer

Konsumsi telur sebagai salah satu makanan yang mengandung protein tinggi terus meningkat, setiap tahunnya sekitar enam persen. Akibatnya, telur organik yang memberikan suplemen lebih, seperti antioksidan dan betakaroten, menjadi pilihan baru bagi konsumen telur.

Ketua Asosiasi Pelaku Agribisnis Organik Indonesia (Aspaindo) Jawa Barat Eddy Soekwanto mengatakan, kebutuhan telur sebagai menu makanan pokok masyarakat relatif tinggi, dari pada daging ayam. Selain harganya lebih murah, kandungan gizinya juga mencukupi.

Akan tetapi, karena masyarakat mulai menyadari pentingnya kesehatan dan berupaya terhindar dari serangan penyakit, kebutuhan suplemen mulai menjadi prioritas. Salah satunya adalah kebutuhan antioksidan yang diyakini bisa mengurangi potensi terserang penyakit kanker dan tumor.

”Kebutuhan itu dijawab dengan telur ayam kampung yang mengandung antioksidan, terutama betakaroten, dengan kandung vitamin A. Mulai banyak konsumen yang mengonsumsi telur berantioksidan ini,” kata Eddy, yang juga Direktur PT Farming Jaya, produsen telur dan ayam organik, Kamis (21/9).

Eddy mengakui, harga telur organik berantikoksidan itu lebih mahal dari pada telur ayam kampung biasa. Harga telur ayam kampung per butir sekitar Rp 800-Rp 1.000, sedangkan telur organik dijual Rp 1.500 per butir (harga dari produsen). Telur itu pun hanya dijual dengan harga butiran, bukan kiloan.

Mahalnya harga yang dibayar konsumen itu karena kandungan suplemen yang terdapat di dalam satu butir telur, antara lain omega-3 sebesar 214,23 miligram, betakaroten 380 migrogram, serta EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (decosahexaenoic acid), sejenis asam lemak yang berguna bagi perkembangan otak dan retina, sebanyak 91,09 miligram. Penyebab lainnya, biaya produksi telur organik yang menerapkan teknologi biofermentasi ini juga lebih mahal.

Hingga kini, permintaan pasar terhadap telur organik terus meningkat. ”Enam bulan lalu, permintan telur berantioksidan ini hanya 20.000 per bulan, sekarang sudah 60.000 butir per bulan. targetnya, hingga akhir tahun nanti, produksi telur bisa mencapai 200.000 butir per bulan,” kata Eddy.

Penjualan telur organik ini, baru sebatas beberapa supermarket di Bandung dan Jakarta, kebanyakan 80 persen daerah pemasarannya ada di Bandung. Diperkirakan, permintaan telur yang juga rendah kolesterol ini bakal diminati masyarakat kota, terutama kalangan menengah atas.


Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872

Berani Jadi Popeye

Enak Juga Jadi “Popeye”


Sekarang gaya hidup sehat sudah jadi tren. Sungguh keren ketika kita memutuskan menjadi vegetarian atau memilih hanya makan sayuran organik. Belum pernah mencoba? Menarik, kok. Simak dulu sebelum mulai.

You are what you eat, apa yang kita makan akan menentukan siapa kita. Pengaruh makanan memang sangat besar terhadap kesehatan serta kebugaran tubuh, bahkan pada kecantikan dan kemudaan kita.

Gracia (33), penulis, sudah dua tahun menjadi vegetarian. Keputusannya ini diambil ketika ia mulai sering mengeluh mual-mual ketika mengonsumsi daging. “Sejak jadi vegetarian tubuh saya jadi lebih enteng dan bugar. Tapi saya bukan vegetarian murni, lho, karena saya juga masih mengonsumsi susu dan telur untuk kebutuhan protein dalam tubuh,” urainya.

Jika Gracia memilih menjadi vegetarian untuk hidup lebih sehat, maka Melly Manuhuttu memilih mengonsumsi makanan organik. Tak hanya sayuran, bahkan ayam dan telur pun ia pilih yang organik. “Makanan organik membuat saya merasa aman, karena tidak ada bahan-bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh,” katanya.

Menurut Fransisca Rungkat, ahli gizi dari IPB, memang ada dua hal yang bisa diupayakan untuk hidup lebih sehat, yaitu menu makanan yang seimbang dan meminimalisir masuknya bahan-bahan kimia ke dalam tubuh.

Hewani vs Nabati

Mengonsumsi sayuran dan kacang-kacangan, memang lebih sehat daripada daging-dagingan, karena tingkat kolesterolnya rendah bahkan tidak ada sama sekali. Kolesterol hanya terdapat pada produk hewani, seperti daging, telur, atau susu.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa makanan yang kaya akan karbohidrat kompleks dan rendah kandungan lemaknya adalah resep yang paling baik untuk mengontrol diabetes. Selain itu riset terhadap vegetaris menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat kanker hanya 1/2 sampal 3/4 dibandingkan populasi umum.

Namun, bukan berarti Anda lantas tidak boleh makan daging, lho. Menurut Fransisca, yang penting Anda mengonsumsi makanan dengan seimbang, yang mengandung protein, karbohidrat, lemak, serat, vitamin dan mineral. Jika salah satu kurang, protein misalnya, maka Anda akan mudah sakit dan kulit menjadi cepat tua lantaran pergantian sel-sel baru berjalan lambat.

Boleh juga kok makan junk food. “Semua makanan baik, yang penting berapa banyak Anda memakannya. Makan hamburger, fried chicken, chips, dan sebagainya, tidak ada salahnya, asal diimbangi dengan makanan sayuran,” sarannya.

Organik atau Konvensional

Pestisida yang digunakan untuk membunuh hama dan serangga pada sayuran adalah bahan kimia yang terlarang masuk ke dalam tubuh. Begitu juga bahan kimia lainnya yang dipakai untuk menghancurkan alang-alang, yaitu gramisida. “Bahan ini bisa membunuh daun, maka bisa juga membunuh sel kita, karena daun itu mirip dengan tubuh kita,” jelas Fransisca.

Alasan itulah yang membuat orang tertarik mengonsumsi produk organik. Sayuran organik terbukti mengandung zat antioksidan 10-50 persen di atas sayuran non-organik. Dalam publikasi Coronary and Diabetic Care di Inggris, dan Association of Primary Care Groups and Trust disebutkan bahwa membiasakan diri mengonsumsi makanan organik bermanfaat mengurangi asupan bahan kimia beracun ke dalam tubuh, menyetop kemungkinan masuknya sel-sel produk pertanian hasil rekayasa genetika yang sampai kini belum diketahui bahaya dan akibatnya terhadap kesehatan, meningkatkan asupan nutrisi bermanfaat, juga menurunkan risiko kanker, penyakit jantung koroner, alergi dan hiperaktivitas pada anak-anak.

Dari segi penampilan sih sayuran organik sangat tidak menarik. Biasanya daunnya bolong-bolong karena dimakan hama, dan bentuknya lebih kecil dari sayuran non-organik. Tidak mulus.

Saat ini sayuran organik masih terbilang jauh lebih mahal, bisa 3-4 kali lipat harga sayuran mulus. Bila membeli sayuran organik membuat kantong merana, maka Anda bisa tetap mengonsumsi sayuran biasa dengan syarat, “Cuci bersih sayuran dan buah dengan sabun. Kemudian, rendam selama 5 sampai 10 detik ke dalam air panas, setelah itu baru dimasak,” saran Fransisca

Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872

Apakah Produk Organik Mahal ?

BANDUNG, KOMPAS--Harga produk pertanian organik masih lebih mahal dibandingkan anorganik. Bila ingin harganya lebih terjangkau, produksi pertanian organik harus ditingkatkan.

Meski demikian, peningkatan produksi itu terkendala karena antusias petani yang rendah dan belum adanya lembaga sertifikasi resmi untuk komoditas organik.

Kepala Seksi Panen dan Pemasaran Produk Primer Dinas Perkebunan Jabar, Iyus Supriatna, Rabu (6/9), mengatakan, harga produk pertanian organik memang lebih mahal. Harga produk organik bisa lebih tinggi 50 persen. Apalagi, bila produk sudah mendapatkan sertifikat organik Standar Nasional Indonesia (SNI), harganya bisa melonjak menjadi 10 kali lipat.

Sertifikat SNI itu bernomor 01-6729-2002 Tentang Sistem Pangan Organik. Perusahaan yang sudah memenuhi SNI untuk produk organik yaitu PT Perkebunan Nusantara VIII. Contohnya, teh Walini yang harganya mencapai Rp 30.000 per kemasan isi 50 gram. Harga produk anorganik biasanya hanya sekitar Rp 3.000 per kemasan dengan berat sama.

Meski harganya tinggi dan lebih sehat, peningkatan produktivitas produk organik tidaklah mudah. Sebab, antusias para petani terhadap produk organik belum setinggi tanaman anorganik. Pasalnya, ketersediaan unsur hara dari pupuk organik sangat lama. Produktivitas bisa berjalan normal setelah lahan diberi pupuk organik selama dua sampai tiga tahun.

Menurut Iyus, mahalnya harga produk organik disebabkan permintaan yang tinggi tetapi persediaan barang terbatas. Produksinya setiap tahun pun cenderung stangnan. Hasil produk organik dari Jabar setiap tahun sekitar 500 ton per tahun.

Jumlah itu hanya mampu memenuhi kebutuhan pasar sekitar 40 persen. Mahalnya produk organik juga disebabkan cara distribusinya yang tidak boleh dicampur dengan barang anorganik karena dikhawatirkan terkontaminasi bahan kimia.

Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872

Apa Itu Makanan Organik ?

Amerika Serikat menetapkan standar, apa yang disebut organik adalah makanan yang "100% organik" dan "organik" (untuk yang setidaknya 95%) diproduksi tanpa hormon, antibiotik, herbisida, insektisida, pupuk kimia, radiasi untuk mematikan kuman, atau tanaman/ hewan yang mengalami modifikasi genetis (GMO, genetically modified organism).

Tanaman organik memakai pupuk kandang dan mengharamkan pestisida. Dipanen sesuai ketentuan, sebulan ya sebulan. Jika pakai pupuk kimia bisa panen lebih cepat, dan hasil produknya lebih besar. Petani mengolah sendiri pupuk kompos atau humus, dan untuk mengusir hama digunakan strategi penyilangan atau dikombinasi dengan daun bawang.

“Sayur organik lebih garing, lebih manis dan rasanya lebih alami,” ujar Stevan Lie. “Cabe dan kemangi lebih pedas, dan ketimun lebih kecil tapi lebih banyak airnya,” timpal Hariyanto.

Walau tubuh kita memiliki ginjal, liver, dan sebagainya yang berfungsi sebagai penyaring dan pembuang racun, “Tapi kalau perangkat tubuh itu terus-terusan dipaksa bekerja keras karena kita mengonsumsi makanan tak sehat, lama-lama jebol juga,” tambah Stevan.

Ia sarankan tindakan preventif, jangan setelah terkena penyakit baru berobat. Ongkosnya lebih mahal. Jika dua hari kita konsumsi makanan tak sehat, kita masih punya lima hari untuk menjaga baik-baik pola makan. Syukur jika akhirnya selama seminggu makan makanan sehat.

Lagi pula, karena tak merusak tanah dalam jangka panjang, beda dengan pupuk kimia, maka tanaman organik disebut tanaman masa depan. “Di Jepang dan Amerika Serikat konsumennya fantastis. Kalangan tertentu tak sudi lagi mengonsumsi makanan nonorganik, yang mereka sebut makanan konvensional,” imbuh Hariyanto bersemangat.

Hanya, karena kuantitas produksinya tak bisa banyak, maka harganya menjadi lebih mahal. Bukankah kesehatan kini menjadi barang mahal?

Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872

Mendorong Pengembangan Produk Organik

Produk pangan yang ditanam dengan sistem organik saat ini mulai banyak dijumpai di pasaran, meski jumlahnya masih sedikit dibanding produk non organik. Menanggapi ini, Bali Organic Association (BOA) mengupayakan untuk mengembangkan produk pertanian organik sebagai produk hilir.

“Jika sekarang petani mulai menggunakan sistem pertanian organik, tinggal mengajak mereka lebih kreatif dengan mengolah apa yang mereka tanam. Dengan pola pengembangan di bagian hilir ini, diharapkan pendapatan petani bisa lebih baik,” kata Ketua BOA, Dr Ni Luh Kartini, dalam peluncuran produk olahan pertanian organik di Denpasar, Senin (15/5).

BOA merintis sistem pertanian organik sejak 1997. Dengan merangkul petani di beberapa daerah seperti Nusa Penida di Klungkung, Pemuteran di Tabanan, dan Pelaga di Badung, sekarang berkembang penanaman padi, palawija, sayur-sayuran, jambu mete dan buah-buahan tanpa pupuk kimia. Penjualan hasil tanaman itu, diakui Kartini, masih terkendala oleh kurangnya promosi dan kontinuitas produk.

Dalam upaya meningkatkan kualitas hidup petani, saat ini BOA bekerjasama dengan petani melalui penyuluhan dan pendampingan tentang pemanfaatan hasil pertanian.

Sekarang selain menjual hasil tanaman berupa padi dan sayuran organik, petani mulai diajak mengembangkan sirup dari alang-alang, secang, ubi ungu dan beberapa macam buah. Selain itu mereka juga mengembangkan penganan seperti keripik dari buah nangka. Kesemuanya ditanam dengan sistem organik.

Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872

Kalau Mau Murah Ya Pilih Yang Organik !

DALAM dunia konsumsi, sering kali terdengar ramalan bahwa barang konsumsi yang akan selalu unggul dan laku di pasaran adalah segala yang berkaitan dengan fashion, food (makanan), fun (kesenangan), dan health (kesehatan).

INDUSTRI sering kali menyikapinya dengan kecerdikan tersendiri demi menggenggam benak konsumennya. Produk organik, misalnya, dengan mengusung gagasan kesehatan, secara berkesinambungan mulai tampak berhasil merebut benak masyarakat konsumsi, sekalipun harganya bisa begitu mahal.

Beragam produk organik pertanian lokal saat ini marak meramaikan gerai-gerai penjualan di berbagai supermarket di kota-kota besar di Indonesia. Tak hanya sayuran dan buah-buahan, belakangan juga muncul ayam, telur kampung, dan susu organik. Produk organik tersebut mengklaim bebas pestisida, pupuk kimia, hormon pertumbuhan, dan benih transgenik. Sedangkan pestisida dan pupuk kimia, misalnya, diyakini menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, termasuk pencemaran lingkungan yang merusak ekosistem.

Namun, sering kali untuk sesuatu yang bermutu bisa dijustifikasi dengan harga mahal. Sementara menjadi sehat adalah hak setiap orang. Ucapan "ada mutu, ada harga" tidak selamanya tepat, terlebih untuk produk pertanian organik.

"Produk pertanian organik justru ongkos produksinya bisa jauh lebih rendah daripada produk pertanian konvensional sehingga harga tidak harus mahal," kata Herningsih Prihastuti, petani organik skala kecil di kawasan Puncak.

Petani yang menjalankan pertanian organik tidak lagi perlu membeli pupuk kimia, pestisida, dan bibit. Pupuk organik diperoleh tidak harus dengan membeli, namun justru harus dengan memanfaatkan limbah hasil pertanian. Sementara penanggulangan hama dilakukan dengan sistem polikultur, rotasi tanaman, dan ramuan pestisida alami. Bibit pun mereka peroleh dari hasil pertanian sendiri, bukan terpaksa harus membeli dari industri bibit. "Jadi, nilai harga suatu produk bisa lebih dikontribusikan untuk petani atau petani penggarapnya," kata Herningsih.

Lalu mengapa produk pertanian organik lokal di toko swalayan bisa demikian mahal?

Hal ini tidak terlepas dari rantai distribusi dari produsen hingga ke konsumen. Pihak perantara, yaitu pedagang, kerap menaikkan harga atas pertimbangan psikologi konsumen. Asumsinya, konsumen organik adalah pasar yang memiliki kesadaran kesehatan tinggi sehingga dianggap sudi merogoh kocek lebih dalam. Belum lagi pertimbangan gaya hidup yang bisa membuat harga dipatok suka-suka.

Sayuran organik bisa dicirikan dari penampilannya yang bersahaja. Sayuran dan buah organik tidaklah berpenampilan mulus dan cemerlang warnanya. Bahkan tidak jarang, daun sayuran tampak bolong-bolong akibat termakan ulat. Namun, rupanya itulah ciri bahwa itu merupakan sayuran sehat. Perlu diingat, sayuran aeroponik dan hidroponik yang juga beredar di pasaran secara prinsip sangat berbeda dengan sayuran organik. Sayuran aeroponik misalnya, meski mengklaim bebas pestisida, namun produk tersebut tidak mengklaim bebas nutrisi kimia ataupun benih transgenik.

"Binatang, hama, juga ulat punya naluri tajam. Dia tidak mau sayuran yang beracun, yaitu berpestisida. Tetapi, justru manusia salah kaprah, manusia justru suka sayuran yang ulat saja tidak mau, yaitu yang berpestisida," kata YP Sudaryanto dari Pertanian Organis Pater Agatho, salah satu pionir pengembangan pertanian organik di Indonesia.

Bahkan, Herningsih mengaku saat dirinya masih bertani secara konvensional, tanaman kolnya sering disemprot pestisida yang dicampur dengan lem supaya tidak luntur oleh hujan. Produk pertanian yang telah dipanen juga kerap masih disemprot lagi dengan pestisida supaya tidak lekas busuk.

"PRODUK organik sudah telanjur tercoreng sebagai produk eksklusif, katanya sayurannya orang kaya. Padahal, filosofinya produk organik itu sendiri sangat jauh dari itu," kata Tejo W Jatmiko dari Konphalindo, organisasi nonpemerintah yang aktif mengkampanyekan produk pangan organik.

Untuk menyiasatinya, konsumen dapat mencari alternatif dengan memperoleh produk pertanian organik melalui komunitas organik. Sistem pemasaran produk organik seperti ini di Jepang disebut teikei. Hal ini sudah dilakukan sejak era tahun 1980-an oleh berbagai komunitas konsumen organik di Jakarta yang memasok dari Pertanian Organis Pater Agatho.

Dalam seminggu, pihak produsen dari pertanian Agatho misalnya akan mengirimkan berbagai produk pertaniannya ke sejumlah "pemimpin" komunitas di berbagai wilayah di Jakarta. Kemudian, para anggota komunitas tersebut yang rumahnya satu kawasan akan datang mengambil pesanan mereka. Dengan cara seperti ini harga produk pertanian yang mereka peroleh bisa sangat murah, bahkan hingga mencapai 50 persen lebih rendah dari harga produk organik di supermarket.

Hal yang sama juga diterapkan Herningsih. Selaku produsen, Herningsih kini memiliki delapan kelompok konsumen organik di wilayah Jabodetabek. Seminggu sekali setelah panen, Herningsih akan membawa turun hasil panennya dari Puncak ke rumahnya di Jakarta. Kemudian, para "pemimpin" kelompok konsumen akan datang ke rumah Herningsih untuk mengambil pesanan sayur dan buah dari para anggota kelompoknya. Para anggota kelompok itu lalu bisa mengambil pesanan mereka di rumah ketua kelompok.

Sistem harga yang diterapkan adalah harga flat, artinya tidak tergantung hukum ekonomi penawaran dan permintaan. Jadi, meski suplai sedang tipis, namun permintaan tinggi, harga produk tidak akan sontak melambung tinggi. Yang cukup mengherankan, betapa jauh rentang harga produk pertanian organik dengan sistem seperti ini. Brokoli organik bisa diperoleh dengan harga Rp 15.000- Rp 20.000 per kilo, sementara di toko swalayan harganya bisa mencapai Rp 70.000 per kilo.

Dalam model pemasaran seperti ini, tercipta relasi yang khas antara konsumen dan petani selaku produsen. Prinsip kejujuran merupakan fundamental relasi tersebut. "Pemasaran produk organik dengan cara seperti ini juga sangat terasa unsur sosialnya. Tidak sekadar demi kesehatan, komunitas konsumennya dan produsennya seolah punya filosofi yang sama dalam menghargai alam," ujar Esty Lauren, salah satu anggota komunitas yang tinggal di Ancol, Jakarta.

Untuk mengetahui kredibilitas produk organik, sertifikasi bukanlah cara mutlak untuk saat ini, di mana petani-petani kecil yang bertani organik mulai bermunculan. Petani yang tulus menjalankan pertanian organik biasanya juga akan sangat transparan terhadap produknya.

"Ketika saya baru pertama kali menjalankan pertanian organik, saya tidak langsung mengklaim produk saya organik seratus persen. Konsumen harus tahu yang sebenarnya. Boleh dibilang waktu itu masih 60 persen saja bisa disebut organik," kata Herningsih, yang kini telah memeriksakan produknya ke laboratorium biologi molekuler SEAMEO Biotrop di Bogor. (SF)

Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872

Makan Makanan Organik supaya Sehat

MEITY Pondaaga (57), pensiunan Citibank yang kini menjadi konsultan perbankan, sekitar empat tahun lalu mulai mengonsumsi sayuran organik.

Keputusan mencoba sayuran organik dipicu oleh tersedianya sayuran tersebut di sebuah toko swalayan. Sebelumnya dia sudah banyak membaca mengenai makanan organik dari majalah-majalah kesehatan asing.

APA yang masuk ke tubuh, semuanya ada efeknya. Obat saja ada efek sampingnya, bagaimana dengan makanan yang kita makan? (Itu) pakai pupuk apa, bahan kimia apa, pasti ada efeknya ke tubuh," kata Meity.

Apa yang kita makan katanya akan menentukan siapa kita. Ungkapan ini tentu saja tidak semata-mata menyangkut makanan apa yang kita makan, di mana kita makan, dan bagaimana kita memakan makanan itu. Pengaruh sangat jelas makanan adalah terhadap kesehatan serta kebugaran tubuh, dan sampai batas tertentu, kecantikan dan kemudaan kita.

Dengan alasan kesehatan itulah kini semakin banyak orang-setidaknya di Jakarta-yang sukarela mau merogoh kantong mereka untuk membeli makanan organik. Makanan itu juga semakin banyak ditawarkan di berbagai toko swalayan, bahkan ada restoran-restoran yang menyediakan menu khusus sayuran dan daging ayam yang diproduksi secara organik.

Meity menyebutkan, alasan mengonsumsi sayur-mayur organik sejak empat tahun lalu adalah demi kesehatan. Ayah Meity menderita sakit jantung, sementara ibunya punya penyakit darah tinggi. Meity khawatir terkena penyakit yang bisa diturunkan itu dan sangat dipengaruhi gaya hidup, yaitu antara lain makanan yang dikonsumsi, karena kedua orangtuanya penggemar olahraga.

Alasan kesehatan pula yang membuat Ny Rosalinda (39), warga di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, mulai mengonsumsi makanan organik sejak setengah tahun lalu setelah membaca artikel mengenai makanan ini di sebuah majalah kesehatan.

"Sayuran dikasih pestisida dan pupuk kimia, ayam dikasih antibiotik dan hormon, ada juga sapi edan (gila-Red), makanan kemasan pakai pewarna tekstil. Benar-benar mengerikan," kata Rosalinda yang menularkan kebiasaan barunya ini kepada dua anak dan suaminya.

Kesadaran untuk hidup sehat dengan mengonsumsi makanan organik ini bukan cuma dilakukan individu-individu. Ny Traute Christa Ongkowijaya (50), warga Kelapa Gading, Jakarta Utara, menjadi semacam ketua kelompok dari para konsumen makanan organik yang anggotanya sekitar 15 orang. Setiap hari Jumat, sayuran organik dari perkebunan milik Pater Agatho, pelopor sayuran organik di Indonesia, dikirim ke rumahnya.

"Setiap Jumat anggota datang ke rumah saya untuk mengambil sayuran itu. Jenis macam-macam, apa saja yang sedang alam berikan. Yang penting aman," kata Ny Ongkowijaya.

Ny Ongkowijaya mengatakan, alasan kesehatanlah yang membuat dia mengonsumsi sayuran organik. Jakarta, kata dia, sudah sangat terpolusi. "Jakarta kan termasuk tiga kota yang paling terpolusi di dunia. Jadi, sedapat mungkin dari makanan kita tidak semakin mencemari tubuh," kata dia.

KESADARAN untuk mengonsumsi sayuran organik ini tidak terbatas pada mereka yang sudah berusia relatif lanjut. Ibu-ibu muda dari kalangan selebriti, seperti penyanyi Lusy Rahmawati (27) dan Melly Manuhutu (29), serta pembawa acara televisi Sophie Navita (29) juga mulai rajin mengonsumsi sayuran yang mereka yakini sehat itu.

Melly mulai berkenalan dengan sayuran organik karena kebetulan dia tinggal di kawasan Ciburial, Cisarua, Jawa Barat. Di tempat tinggalnya itu dia dengan mudah mendapatkan sayuran organik yang ditanam di kebun milik Pater Agatho.

Penyanyi yang pernah hamil tetapi kemudian keguguran itu memakan beragam sayuran organik, seperti wortel, bayam, selada, lobak, labu siam, tomat, selain ubi, dan pisang. Bahkan ayam dan telur pun dia pilih yang diproduksi secara organik.

Lain lagi alasan Lusy Rahmawati yang mulai mengonsumsi sayuran organik secara teratur setelah kelahiran anak pertamanya, Keitro Jose Purnomo, yang baru berumur satu tahun.

"Makanan organik terutama untuk anakku. Aku sendiri tidak terlalu strict. Untuk anak, aku usahain sedini mungkin tidak mengonsumsi makanan dengan campuran bahan pengawet," kata istri dari sutradara film Jose Purnomo.

Awalnya Lusy masih merasakan harga sayuran tersebut mahal sehingga dia terpaksa tidak sering membeli. Tetapi, begitu hamil dan melahirkan, Lusy mulai mengonsumsi sayuran organik yang dia kenal melalui tawaran di sebuah toko swalayan di dekat rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Alasan penyanyi ini karena sekarang banyak penyakit yang aneh-aneh. "Aku pikir, untuk anakku keluar biaya ekstra tidak apa-apa," papar Lusy.

Pengalaman Sophie Navita dengan sayuran organik juga berhubungan dengan kehamilannya dan ketika dia menyusui sendiri anaknya.

"Awalnya memang buat anak, tetapi akhirnya juga buat keluarga. Jadi, sekalian belanja," kata Navita yang istri dari Pongky, penyanyi kelompok musik Jikustik. "Entah sugesti atau apa, tetapi yang jelas saya merasa lebih segar dan badan lebih ringan setelah banyak mengonsumsi makanan organik," ujarnya.

Begitu juga pengusaha Setiawan Djody (55) mengaku mengonsumsi makanan organik. Dia bahkan mendukung pertanian organik melalui Yayasan Kantata yang dia dirikan 15 tahun lalu. "Saya tertarik dengan pertanian organik setelah bertemu dengan Romo Agatho. Saya kebetulan tertarik pada gaya hidup kembali ke alam," paparnya.

APA pun alasan yang disampaikan para konsumen makanan organik, entah dengan alasan kesehatan atau kembali ke alam, tetapi makanan organik meskipun perlahan semakin populer walaupun harganya berlipat sampai tiga kali dibandingkan dengan makanan non-organik.

Untuk negara dengan peraturan ketat seperti Amerika Serikat (AS), mereka telah memberlakukan sebuah standar tentang apa yang disebut organik, yaitu makanan yang "100 persen organik" dan "organik" (untuk yang setidaknya 95 persen) diproduksi tanpa hormon, antibiotik, herbisida, insektisida, pupuk kimia, tanaman/hewan yang mengalami modifikasi genetis, atau radiasi untuk mematikan kuman (Newsweek, 30/9/2002).

Kesadaran untuk mengonsumsi makanan organik pun tidak selalu sama dari masa ke masa. Ketika budaya tandingan muncul di Barat pada tahun 1970-an-yang kemudian imbasnya juga terasa di Indonesia-konsumen mengambil makan organik sebagai sebuah identitas lebih karena alasan filosofis. Maksudnya, makanan menjadi cara mereka untuk menyuarakan kepedulian mereka terhadap kondisi lingkungan, pilihan politik, bahkan spiritualitas mereka.

Akan tetapi, keadaan ini kini berbalik lebih menjadi alasan praktis, yaitu kesehatan tadi, meskipun di sini jumlah konsumennya masih dari kalangan terbatas mengingat harganya yang jauh lebih mahal tadi.

Alasan kesehatan ini pun masih menjadi pro dan kontra di negara maju seperti AS. Betul pestisida adalah racun yang dimaksudkan untuk membunuh hama penyakit yang mengganggu tanaman, dan antibiotik digunakan untuk menangkal serangan penyakit pada hewan ternak. Tetapi, mereka yang membela penggunaan teknologi-pupuk buatan, pestisida, pangan hasil modifikasi genetika-mengatakan bahwa bahaya utama datang dari bakteri seperti E coli yang terdapat pada kotoran sapi yang menjadi pupuk tanaman organik.

Namun, yang tidak dapat dimungkiri adalah semakin intensifnya penggunaan pestisida dan antibiotik pada pertanian konvensional-pertanian dengan asupan teknologi modern menjadi konvensional dibandingkan dengan pertanian organik yang sebelum munculnya Revolusi Hijau tahun 1960-an dengan teknologi modernnya adalah pertanian konvensional itu sendiri-karena munculnya masalah antara lain hama penyakit yang kebal terhadap pestisida yang ada sampai jenuhnya tanah karena penggunaan pupuk kimia terus-menerus sepanjang tahun.

Untuk lingkungan, pertanian organik dianggap lebih bersahabat terhadap lingkungan karena dia mengambil apa yang berasal dari alam dan dikembalikan ke alam seraya menjaga keragaman hayati karena tidak perlu membunuh makhluk hidup-apakah dia kutu atau serangga pemakan sayuran-secara berlebihan karena penggunaan musuh alami atau pestisida dari bahan tanaman sendiri.

Dan apabila konsumen sekarang memilih makanan organik karena alasan kesehatan, itu akan menjadi sebuah cara untuk ikut memperbaiki lingkungan, sepanjang memang diproduksi dengan cara yang benar-benar organik.

Buat Ny Meity, keyakinan bahwa makanan organik yang dia konsumsi membuatnya lebih sehat adalah hal yang terpenting. "Saya sekarang juga tidak pernah sakit yang berat- berat, paling-paling hanya flu. Tetapi, secara umum saya suka makanan organik karena merasa safe saja," kata Meity.

Soal harga yang bisa 3-4 kali lebih mahal dibandingkan dengan harga sayuran konvensional, Meity melihat itu sebagai harga yang wajar dibayar. Kata Meity, "Daripada beli obat? Ke dokter (kalau sakit), sudah badan kita tersiksa, keluar uang banyak, badan kita kemasukan masih bahan-bahan kimia juga."

Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872

Dikembangkan, 10.000 Hektar Lahan Padi SRI Organik

CIANJUR, KOMPAS - Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan panen raya varietas padi jenis System of Rice Intensification (SRI) organik di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (30/7) pagi, disebut-sebut tahapan selanjutnya akan dikembangkan lahan seluas 10.000 hektar padi SRI ini di seluruh Indonesia.

Dana yang akan digunakan adalah bantuan beberapa bank senilai Rp 100 miliar, yang ditopang juga oleh Medco Fondation, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Teater Sunda (DPKLTS) pimpinan Solihin GP, Yayasan Aliksa Organik SRI dan sejumlah petani Cianjur.

Demikian informasi yang diterima Kompas, Senin pagi ini di Lokasi Panen Raya Padi SRI di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Cianjur, Jawa Barat.

Menurut informasi tersebut, saat ini lahan yang digunakan untuk mengembangkan padi SRI organik hanya seluas 7,5 hektar dengan varietas Sintanur. Nantinya, dengan padi jenis ini, akan dihasilkan tingkat produktifitas sebesar 10-12 ton per hektar. Diperkirakan untuk mencapai tambahan 2 juta ton setara beras untuk target tahun ini, diperlukan 400.000 hektar lahan padi SRI organik.

Padi varietas SR organik merupakan varietas baru yang dikembangkan untuk meningkatkan produksi padi setara sebesar 2 juta ton pada tahun ini. Disebut-sebut jenis padi ini ramah lingkungan, hemat biaya produksi dan produktivitasnya tinggi.

Konsultasi Kesehatan